Saat Musim Haji 1445 H ini, istilah Haji Ilegal sedang populer. Menurut Pemerintah Saudi, Haji Ilegal ini adalah haji yang dilakukan oleh jamaah yang tidak mendapatkan izin dari Pemerintah Saudi untuk melaksanakan haji.
Karena keterbatasan waktu dan wilayah pelaksanaan haji (di Armina dan Muzdalifah), sebagai pengatur pelaksanaan haji, Pemerintah Saudi menerbitkan izin hanya bagi yang berhak untuk berhaji tahun ini. Salah satu ketentuannya, adalah hanya yang mengantongi visa haji lah yang boleh berhaji. Visa-visa lainnya seperti visa kerja, visa kunjungan keluarga, visa residen, visa bisnis ataupun visa-visa lain tidak diperbolehkan untuk melaksanakan haji.
Akibat aturan ini, banyak jamaah haji (terutama jamaah Indonesia) yang merasa dizalimi karena terancam tidak bisa melaksanakan hajinya, padahal mereka akan pergi haji menggunakan visa selain visa haji.
Namun, saya yakin, Pemerintah Saudi sudah memperhitungkan kapasitas maksimum wilayah dan waktu pelaksanaan haji sehingga melakukan pembatasan yang lebih ketat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan ada sangsi jika melanggar aturan ini. Kalo tidak salah denda sekian ribu riyal Saudi Arabia bagi yang melanggar.
Sholat Ilegal di Masjidil Haram
Di sisi lain, sebenarnya sudah ada istilah Sholat Ilegal di Masjidil Haram. Cuma tidak populer dan tidak ada sangsi jika melanggarnya.
Pada waktu Masjidil Haram dipenuhi jamaah secara maksimum (misalnya pada waktu bulan Ramadhan, musim umroh setelah masa pandemi Covid-19, musim umrah liburan dan lain-lain), Pemerintah Saudi hanya membolehkan jamaah yang melaksanakan tawaf (dalam rangka umroh) untuk melaksanakan sholat di mataf (pelataran sekitar Ka’bah).
Tujuannya tidak lain agar jamaah yang tawaf menjadi nyaman, tidak berdesakan sehingga bisa tawaf dengan leluasa. Yang tidak melaksanakan tawaf umroh, dilarang memasuki area tersebut.
Cara Saudi membatasi adalah menyeleksi jamaah yang masuk ke area mataf tersebut. Mereka tidak membolehkan jamaah laki-laki yang tidak menggunakan pakaian ihram (sebagai indikator melaksanakan umroh) untuk masuk ke area tersebut. Sedangkan jamaah wanita masih diperbolehkan, karena tidak bisa dideteksi apakah mereka sedang umroh atau tidak.
Banyak yang Melanggar
Dalam pelaksanaannya, ternyata banyak jamaah laki-laki yang melanggar. Mereka pura-pura mengenakan pakaian ihram pada waktu sholat di Masjidil Haram. Padahal sedang tidak berihram. Tujuannya agar bisa sholat (dan tawaf sunnah) di mataf/sekitaran Ka’bah.
Jika disamakan dengan kasus Haji Ilegal diatas, maka menurut saya ini ada kemiripan. Jamaah tersebut melakukan Sholat Ilegal di Masjidil Haram. Ilegal dari sisi hukum Pemerintah Saudi karena melanggar aturan (tidak tertulis) dari Pemerintah Saudi. Apakah sholatnya sah? Saya bukan ahli di bidang ini, jadi tidak bisa menilai.
Sebagai laki-laki, saya merasakan ketidakadilan di sini. Namun, saya yakin, ini cara terbaik yang dipilih oleh Pemerintah Saudi untuk mengatur jalannya ibadah di Masjidil Haram. Apakah saya menuruti aturan tersebut? Saya mendukung aturan tersebut dan memilih mematuhinya.
Jadi, saya sholat di area dalam Masjidil Haram tidak di mataf. Kecuali jika sedang umroh. Mudah-mudahan nilai sholat saya masih 100.000 kali dibandingkan sholat di Indonesia, karena inilah yang saya cari.
Dasar hukum yang saya gunakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An-Nisa’: 59)
Dalam hadits disebutkan,
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ ، مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِالْمَعْصِيَةِ ، فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Patuh dan taat pada pemimpin tetap ada selama bukan dalam maksiat. Jika diperintah dalam maksiat, maka tidak ada kepatuhan dan ketaatan.” (HR. Bukhari, no. 2955)
Antum punya pendapat lain?
Silahkan komen di FB saya, klik